Saturday, December 16, 2006

 

Komentar Mas Bahtiar HS

Diambil dari http://bahtiarhs.multiply.com

Category: Books
Genre: Science Fiction & Fantasy
Author: Tria Barmawi
Judul: Lost in Teleporter: Kisah Cinta Abad ke-22
Pengarang: Tria Barmawi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Terbit 1#: Desember 2005
Tebal: 312 hal


Menukar Hidung dengan Kekasih


Ibarat “sudah jatuh dari langit tertimpa pesawat pula”, maka demikian pulalah yang terjadi pada seorang pemuda bernama Dewey. Bermula dari kehilangan hidung, ia akhirnya bahkan harus kehilangan kekasih sekaligus calon istrinya!

Kehilangan hidung? Kedengarannya memang seperti sebuah peristiwa yang tak wajar. Namun, menjadi tidak aneh manakala hal itu terjadi seratus tahun yang akan datang. Tahun 2101 tepatnya. (Maka ibaratnya pun tak lagi pantas jika sekuno “sudah jatuh tertimpa tangga pula”!)

***

Adalah Dewey yang jagoan IT pada suatu hari di bulan Juni 2101 harus bergegas ke Bandung mengejar rapat membahas persiapan pernikahannya dengan Nilam. Waktu tinggal 20 menit, tak mungkin jika ia menumpang KKT (Kereta Kecepatan Tinggi) yang makan waktu lebih dari 30 menit dari Jakarta. Akhirnya ia menggunakan teleporter; sebuah fasilitas canggih dari NatioTrans yang bisa “memindahkan” seseorang dari satu tempat ke tempat lain dalam hitungan detik. Tentu saja biayanya mahal. Tetapi untunglah, Dewey memang telah menyisihkan banyak uang gajinya untuk mencobai peralatan supermodern itu. Apalagi ia memang seorang yang demen banget pada teknologi.

Dan di situlah cerita ini dimulai: ia harus kehilangan hidungnya yang cukup besar dan tergantikan dengan hidung yang lebih kecil, punya siapa entah! Tampilan mukanya tentu saja jadi aneh! Rapat yang seyogyanya akan membahas pernikahannya, akhirnya berlangsung tanpa kehadiran dirinya. Ia memilih ngacir, kemudian terseret pada petualangan mencari hidungnya yang hilang. Dan inilah kemudian yang terjadi: ia melabrak NatioTrans, mengkomplen kehilangan hidungnya saat berteleport, memaksa ikut tim yang dibentuk NatioTrans untuk melacak “bug” teleport mereka dan mendapatkan hidungnya kembali, dan ... bertemu dengan Meylana: Kepala Divisi Perangkat Lunak NatioTrans.

Ia menemukan bunga indah, selain Nilam, calon istrinya.

Dalam pencarian hidungnya bersama Meylana sebagai ketua timnya inilah cintanya kemudian terombang-ambing. Ia merasa menemukan tempat ngobrol dan curhat yang lebih asyik dari Nilam. Mey cantik, simpati pada keadaannya, mau mengerti dirinya, energik, memiliki ketertarikan pada dunia IT yang serba canggih sama dengan dirinya, dan seringkali bisa bertengkar dengannya: sesuatu yang tak ia temukan pada diri Nilam. Meski cantik, Nilam adalah tipikal gadis Sunda yang lemah-lembut, cenderung menghindari konflik dan tak suka bertengkar, dan ia lebih suka meditasi dan mengembara dalam mimpi. Ia introvert!

Dewey dan Meylana bahkan terseret pada pusaran cinta yang memabukkan!

Akhirnya mereka temukan juga orang yang tertukar hidung dengan Dewey. Narada namanya, seorang rendah diri yang merasa menemukan percaya dirinya ketika tertukar hidung dengan hidung Dewey. Ia ketika itu berteleport di Semarang pada saat yang sama dengan Dewey. Ia akan mempersembahkan perubahan dirinya yang drastis itu untuk seorang jelita yang selama ini dipanggilnya Putri.

Namun malang! Ketika tim NatioTrans – dengan Dewey di dalamnya – meminta hidung itu ditukar kembali, Narada menolak. Tim NatioTrans pun mencoba berbagai cara hingga bahkan kehilangan akal. Jika mereka menuntut lewat jalur hukum pun, taruhannya sangat mahal: reputasi NatioTrans. Bagaimana tidak? Media massa pasti akan mengekspos “kesalahan transfer” itu menjadi berita besar. Dan tanpa Narada mau bekerjasama, maka reteleportasi itu tak akan mungkin terjadi.

Dewey tambah malang lagi ketika Nilam akhirnya mengetahui “perselingkuhan” dirinya dengan Meylana pada suatu hari. Ia sempat melihat gambar Meylana lewat misscall pejabat NatioTrans itu di layar smartphone Dewey yang tergeletak di meja ketika calon suaminya itu sedang di kamar mandi. Bahkan Mey mengirim SMS yang sangat privacy. Dan Nilam pun menemukan beberapa SMS Mey yang ternyata masih tersimpan di mailbox Dewey. Terkuaklah segalanya. Dan retaklah hubungan mereka.

Namun Dewey bukannya memburu Nilam untuk meminta maaf, melainkan malah merasa sudah ditinggalkan gadis itu. Bahkan Nilam akhirnya keluar kota, entah kemana, lebih dari empat hari tanpa pamit padanya. Akhirnya ia berpaling pada Mey dan mengutarakan isi hatinya. Kemalangannya kian bertumpuk ketika Mey mengakui bahwa hubungan mereka selama ini sebatas suka sama suka saja. Sebatas sahabat. Tak lebih dari itu! Apalagi Mey sudah memiliki Leon, suaminya di Roma. Hal mana membuat Dewey kelimpungan: ditinggal Nilam, ditolak Mey.

Luka hatinya sedikit terobati ketika Meylana, sebagai orang NatioTrans, menghubunginya dan mengatakan kalau Narada akhirnya mau menukar hidungnya. Tetapi, Narada meminta syarat yang selain membuat Dewey kaget, juga marah alang-kepalang. Pemuda itu dengan beraninya meminta Nilam dari dirinya! Tentu saja ia menolak mentah-mentah! Lebih kaget lagi ketika dari Naradalah ia tahu Nilam sudah pulang ke rumahnya di Bandung.

Dewey pun melabrak Nilam. Tetapi akhirnya ia pun harus bisa menerima keadaan: bahwa Nilam sempat menunggu kalau-kalau Dewey akan mencarinya di rumah untuk meminta maaf atau setidaknya menunjukkan sedikit penyesalan, tetapi Dewey tidak melakukannya; bahwa Nilam menghilang kemarin ternyata bermaksud mencari sendiri orang yang tertukar hidung dengan Dewey dan tak mau berteleportasi; bahwa Nilam akhirnya bertemu Narada, orang yang tertukar hidung dengan Dewey itu; bahwa Narada ternyata tak lain adalah seseorang yang kerap ia temui dalam mimpinya dan sering dipanggilnya Pangeran, sedang Narada memanggilnya Putri; bahwa keduanya saling jatuh cinta di alam mimpi itu, dan ternyata ketika bertemu di alam nyata pun demikian pula. Kesimpulannya: Nilam merasa lebih cocok dan dibutuhkan Narada ketimbang Dewey.

Dewey pun tak punya pilihan lain. Ia bertukar hidung dengan Narada dan dirinya kembali seperti semula. Narada dan Nilam pun akhirnya menikah. Sedang Meylana balik ke Roma.

Bagaimana akhirnya nasib Dewey dan Meylana? Baca sendiri sana. Enak aja! Emang gua emak lo!

***

Saya terus terang tertarik membaca novel ini karena ditantang penulisnya untuk menulis komentar. Bagaimana pun saya sebenarnya tak tertarik melihat judulnya saja yang seperti kebanyakan novel-novel pop lainnya yang marak berserak di rak toko-toko buku dengan judul yang kebarat-baratan.

Namun setelah membacanya, rasanya saya menemukan bacaan yang cukup asyik setelah “Area X” karya Eliza maupun “Reva Floyd” karya teman saya, Taufik Affandi. Setidaknya saya seperti akrab berada pada salah satu dunia yang saya geluti sebagaimana Mey, Dewey, dan Tria selaku penulisnya. Dunia IT, yang terus berkembang tak terkendali.

Terus terang saya tak terlalu suka dengan bahasa gaul yang digunakan. Tetapi bagaimanapun mengikuti alur ceritanya -- dan terdorong untuk bisa memberikan komentar :) -- memaksa saya menelannya mentah-mentah seperti minum obat ketika sakit. Penggunaan bahasa gaul bukanlah salah, tetapi hanya masalah selera saja; bahasa gaul cerminan anak muda, padahal saya lebih suka yang lebih serius (meski saya masih cukup muda -- setidaknya kata istri saya).

Plot cerita ini cukup ditata apik. Meski sejak semula saya sudah bisa menduga bahwa ketika Dewey kehilangan hidungnya, maka ia akan kehilangan calon istrinya. Apalagi ketika ia bertemu dengan Mey. Ah, itu mah gaya khas cerita metropop dan juga sinetron di TV! Bisa ditebak! Yang saya agak sulit menebaknya adalah bagaimana Nilam akhirnya bisa beralih pada Narada: sesuatu yang sejak awal juga sudah saya duga. Apalagi Narada menyebut-nyebut tentang Putri, seorang yang misterius dan miskin informasi di cerita ini. Saya langsung yakin, Putri pastilah Nilam! Tetapi bagaimanapun memang fakta yang diungkapkan penulis tentang Narada dan Nilam cukup sedikit, se-introvert diri mereka. Saya tidak menduga ketika ternyata mereka dihubungkan lewat astral projection, dipertemukan dalam ranah mimpi! Meski “pertemuan nyata” mereka itu menurut saya “terlalu kebetulan”, tetapi sudahlah! Tria sudah berusaha semaksimal mungkin membuat kita, para pembacanya, terseret pada cinta segi empat abad 22 yang mengasyikkan! Dan itu harus kita hargai.

Namun ada beberapa hal yang mengganjal pada diri saya setelah membaca novel sci-fiction ini.

Pertama, bisa diterimalah kehilangan hidung via teleporter pada abad 22 itu! Tetapi, saya tetap merasa berada di abad 21 ini ketika membaca novel itu. Tak seperti meloncat ke situasi seratus tahun yang akan datang. Setidaknya Tria memaparkan konsep teleporter dengan teknologi yang rasanya “sudah ada” saat ini. IVR misalnya, adalah mainan kita sejak beberapa tahun lalu bahkan. Speech recognition juga. Ia banyak digunakan pada komputer atau HP kita untuk melakukan call pada lawan bicara hanya dengan “menyebut namanya”. Smartphone Dewey pun lumrah di jaman ini. Demikian juga istilah Domain, Knowledge Base, Artificial Intelligent.

Dalam hal ini saya ingin mengatakan bahwa ketika menulis novel berlatar 100 tahun yang akan datang itu, si penulis, Tria, masih berpijak kaki dan jiwanya di abad ini. Ia tidak dengan total-bulat-bundar terbang ke abad mendatang dan menuliskan ceritanya. Ia masih memakai istilah-istilah teknologi jaman ini! Mengapa tak pakai istilah yang supercanggih sekalian, yang bahkan belum digumamkan orang? Meski science, bukankah ini fiksi?

Kedua, saya juga terganggu dengan berbagai fakta yang diungkap di beberapa bagian cerita ini bahwa teknologi transfer via teleport itu proses yang begitu rumit, begitu sulit. Tria, ceritamu terjadi lebih dari 100 tahun yang akan datang. Mengapa kok tak lebih mudah segala sesuatunya? Mengapa pula untuk mendapatkan data lebih lengkap seseorang mesti menghubungi bagian kependudukan? Mengapa mereka tidak sudah dihubungkan dengan jaringan komputer yang terintegrasi – hal mana saat ini sudah jamak dilakukan berbagai instansi pemerintah dan swasta? Bukankah sekarang sudah ada one-roof system yang tentunya terintegrasi?

Ketiga, saya juga tak habis pikir, mengapa tujuh orang yang mampu berteleport – yang biayanya mahal itu, mereka tak punya telepon atau “sesuatu yang bisa dihubungi”? Bukankah barang itu murah dan ada dimana-mana, bahkan saat ini? Sesuatu yang MUSTAHIL rasanya bisa terjadi di tahun 2101! Cari dong alasan lain yang lebih masuk akal untuk ukuran abad itu! Misalnya, nomor telepon mereka dilindungi dengan security semacam bio-password (ini juga istilah ngawur saya saja) yang harus dipecahkan, misalnya.

Keempat, saya masih bisa menerima algoritma transfer via teleport dari sisi fisik dengan jalan tubuh dipecah-pecah menjadi paket-paket data layaknya transfer data antar dua device. Tetapi, transfer jiwa, ruh, atau apalah namanya? Saya tak melihat penjelasan “ilmiah-scientific” dalam novel ini yang lebih bisa diterima. Mungkin jika teleport yang saat itu sudah dilengkapi dengan mekanisme seperti astral projection atau OBE sebagaimana riset Dewey (atas ide Nilam!), saya bisa menerima teleport sebagai makhluk yang “real”; sebagaimana saya bisa menerima jika yang ditransfer itu benda mati. Jika benda hidup seperti manusia? Nanti dulu. Itu pula kenapa saya bertanya-tanya sepanjang cerita, mengapa kok divisi Perangkat Lunak ya yang harus bertanggungjawab terhadap kehilangan hidung Dewey? Kenapa bukan Divisi Biologi? Apa hanya karena yang nulis orang IT? He he ...

Kelima, mengapa hidung? Mengapa bukan setangkup wajah Dewey yang hilang? Bukankah itu bisa lebih membuat “wah” dan menantang untuk dipecahkan dan menantang plot yang diciptakan? Saya hanya menduga-duga, mungkin Tria pengin menyisipkan kesan “lucu” pada cerita ini karena genre-nya metropop? Ya, kan?

Keenam, saya juga heran ketika Nilam bercerita banyak tentang teleport dan dibentrokkannya dengan astral projection di akhir-akhir cerita. Itu karakter Nilam yang sama sekali tak terduga buat saya. Ia yang Sunda banget dan cenderung tak tertarik dengan teknologi, tiba-tiba bicara tentang teleport dengan begitu mendalam. Menurut saya, karakter Nilam tidak konsisten di sisi ini.

Ketujuh, coba simak bagaimana Nilam memutus hubungannya dengan Dewey. Begitu santai. Rasanya hambar, nggak ada penyesalan blas. Datar. Nggak mengharu-biru. Bukankah selama ini Nilam lebih banyak mengalah? Saya bahkan sampai bertanya-tanya, apa memang mojang Priangan begitu ya kalau mutusin pasangannya? Atau jangan-jangan memang Tria, si penulis, tak pernah mengalami "memutus hubungan" dengan seorang kekasih. :D

Ah, sudahlah. Jangan banyak-banyak. Saya juga tidak yakin, apa yang saya alami dalam pembacaan novel ini dialami pula oleh pembaca yang lain. Background berbeda, persepsi tentu berbeda pula. Anyway, meski ada beberapa “gangguan” dalam pembacaan, tetapi tetap saya acungkan jempol buat Tria yang telah berhasil menyusun novel sci-fiction yang asyik ini. Belum banyak lho yang menulis cerita berbasis situasi sekian abad mendatang! Termasuk yang komentar nih! Diperlukan orang yang berwawasan ke depan, kelihatannya juga harus technology-minded, dan bisa bermimpi melalui astral projection seperti Nilam untuk mengintip masa mendatang.

***

Hanya sayang sekali, teleporter yang disebut-sebut Tria tidak bisa memindahkan kita ke masa yang berbeda: masa lalu maupun masa datang. Kalah dengan time-machine dalam Back to the Future tulisan Bob Gale dan Zemeckis yang dapat melakukan “travel through time” dan mengantar Marty McFly (Michael J. Fox) terbang dari tahun 1985 ketika ia SMA ke 1955 ketika ia bahkan masih entah di mana. Andai ada mesin seperti itu, betapa kita bisa mengubah hidup kita yang salah di masa lalu. Tak ada orang kecewa, tak ada orang menyesal dan menderita. Mungkin juga tak ada syurga dan neraka. Ah, mana mungkin ada dunia yang kayak begitu? Ngaco! (Lhah, mamanya juga mengkhayal!)

Selamat buat Tria. Kita tunggu karya-karya berikutnya.

Comments: Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?