Saturday, December 16, 2006
Review Melody
Diambil dari http://novel_makcomblang.blogs.friendster.com/melodys_blog/
Judul Buku : LOST IN TELEPORTER: Kisah Cinta Abad Ke-22
Penulis : Tria Barmawi
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Cetakan 1, Desember 2005
Tebal : 312 halaman
Peresensi : Melody Muchransyah
Tahu apa itu Teleporter? Tahu?!
Itu, lho, alat pemindai cepat dari satu tempat ke tempat lainnya. Sekarang memang belum ada, tapi mungkin ada di abad ke-22 nanti.
Terus, apa hubungannya sama hidung?!
Aduh, telat banget deh baru baca novel ini sekarang. Secara promonya udah ada di mana-mana semenjak lama. Cliché, one thing leads to another, dari satu kerjaan lanjut ke tugas kuliah lanjut ke acara ini itu lanjut ke meeting… hingga akhirnya buku ini baru sempet terbeli dan terbaca. Tapi gak pa pa. Better late than never, kan?!
Okay. Jujur, sebagai pencinta sci-fi dan cerita-cerita komedi romantis, gue benar-benar merasa klik sama buku ini. Kemasannya beda. Kalau biasanya buku-buku cinta latarnya Jakarta, Bandung, atau kota-kota romantis di luar negeri dengan deskripsi suasana yang akrab dengan keseharian kita saat ini (seperti setting coffeshops terkenal macam Starbucks atau Coffee Bean), novel satu ini dengan berani mengambil loncatan besar menuju abad ke-22, tepatnya tahun 2101 sebagai settingnya. Dampaknya, jelas, banyak hal-hal imajinatif yang tertuang di dalamnya, termasuk tempat-tempat yang belum ada yang mungkin akan ada di masa depan. Pengambilan setting masa depan memberikan keuntungan tersendiri sehingga penulisnya bisa menggali lebih dalam imajinasi terliar yang bisa ia miliki. Namun manisnya, novel ini menyajikan imajinasi yang masih tetap dekat dan rasional dengan keseharian kita di masa ini sehingga kita tetap merasa nyambung sama ceritanya.
Yang paling menggelitik, tentu saja, tema besar di belakang kisah yang dialami tokoh-tokohnya yang pada akhirnya kembali bermuara pada masalah klasik hidup manusia, cinta. Masalahnya simpel, hanya gara-gara sebuah hidung. Sebuah hidung yang dulunya sangat diidam-idamkan seorang cowok bernama Dewey yang ternyata tiba-tiba muncul di wajahnya setelah ia berteleportasi dan malah membuat wajahnya aneh dan ‘tidak manusiawi’. Bayangkan, gimana kalau hidung kita berubah bentuk dalam sekejap? Pasti panik, kan?! Tapi justru kejadian kocak itu yang membangun kisah dalam novel ini. Dari pencarian hidung itu, dimulai pulalah pencarian Dewey akan makna cinta sejati, hingga pada akhirnya ia harus menentukan pilihan yang sulit antara dua wanita. Apakah ia harus memilih Nilam, tunangannya yang terlihat begitu sempurna? Ataukah Mey yang selalu membuatnya deg-degan setiap saat?
Menarik untuk diperhatikan adalah bagaimana penulis mencantumkan hal-hal yang berkaitan dengan teknologi (sesuai latar belakang penulis) dengan sangat tegas dan lugas. Tak ada keragu-raguan sehingga pembaca menjadi yakin bahwa teleporter dan gadget canggih lainnya dalam novel ini memang sangat mungkin ada di masa depan. Selain itu, tersirat pula kerinduan mendalam penulis mengenai hal-hal yang lebih bersifat spiritual. Penulis tanpa ragu menggambarkan situasi di mana keimanan masih ditegakkan dan kedekatan dengan Tuhan dapat semakin diperkuat justru dengan kemajuan teknologi zaman.
Yang paling berkesan bagi gue adalah masalah OBE alias Out of Body Experience. Karena sebagai anak psikologi, gue tertarik banget sama hal itu. Hmm, mungkin suatu hari gue akan lebih banyak meneliti tentang hal itu. Dan yang jelas, buku ini bisa memberikan referensi yang ringan namun tetap berisi.
Gue sih berharap Indonesia memang bisa semaju itu di tahun-tahun mendatang, tak usah lama-lama menunggu abad ke-22, sehingga kita semua bisa merasakan efeknya. Semoga saja.
Bogor, 14 Desember 2006
Melody Muchransyah
Mahasiswi S1 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok
Judul Buku : LOST IN TELEPORTER: Kisah Cinta Abad Ke-22
Penulis : Tria Barmawi
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Cetakan 1, Desember 2005
Tebal : 312 halaman
Peresensi : Melody Muchransyah
Tahu apa itu Teleporter? Tahu?!
Itu, lho, alat pemindai cepat dari satu tempat ke tempat lainnya. Sekarang memang belum ada, tapi mungkin ada di abad ke-22 nanti.
Terus, apa hubungannya sama hidung?!
Aduh, telat banget deh baru baca novel ini sekarang. Secara promonya udah ada di mana-mana semenjak lama. Cliché, one thing leads to another, dari satu kerjaan lanjut ke tugas kuliah lanjut ke acara ini itu lanjut ke meeting… hingga akhirnya buku ini baru sempet terbeli dan terbaca. Tapi gak pa pa. Better late than never, kan?!
Okay. Jujur, sebagai pencinta sci-fi dan cerita-cerita komedi romantis, gue benar-benar merasa klik sama buku ini. Kemasannya beda. Kalau biasanya buku-buku cinta latarnya Jakarta, Bandung, atau kota-kota romantis di luar negeri dengan deskripsi suasana yang akrab dengan keseharian kita saat ini (seperti setting coffeshops terkenal macam Starbucks atau Coffee Bean), novel satu ini dengan berani mengambil loncatan besar menuju abad ke-22, tepatnya tahun 2101 sebagai settingnya. Dampaknya, jelas, banyak hal-hal imajinatif yang tertuang di dalamnya, termasuk tempat-tempat yang belum ada yang mungkin akan ada di masa depan. Pengambilan setting masa depan memberikan keuntungan tersendiri sehingga penulisnya bisa menggali lebih dalam imajinasi terliar yang bisa ia miliki. Namun manisnya, novel ini menyajikan imajinasi yang masih tetap dekat dan rasional dengan keseharian kita di masa ini sehingga kita tetap merasa nyambung sama ceritanya.
Yang paling menggelitik, tentu saja, tema besar di belakang kisah yang dialami tokoh-tokohnya yang pada akhirnya kembali bermuara pada masalah klasik hidup manusia, cinta. Masalahnya simpel, hanya gara-gara sebuah hidung. Sebuah hidung yang dulunya sangat diidam-idamkan seorang cowok bernama Dewey yang ternyata tiba-tiba muncul di wajahnya setelah ia berteleportasi dan malah membuat wajahnya aneh dan ‘tidak manusiawi’. Bayangkan, gimana kalau hidung kita berubah bentuk dalam sekejap? Pasti panik, kan?! Tapi justru kejadian kocak itu yang membangun kisah dalam novel ini. Dari pencarian hidung itu, dimulai pulalah pencarian Dewey akan makna cinta sejati, hingga pada akhirnya ia harus menentukan pilihan yang sulit antara dua wanita. Apakah ia harus memilih Nilam, tunangannya yang terlihat begitu sempurna? Ataukah Mey yang selalu membuatnya deg-degan setiap saat?
Menarik untuk diperhatikan adalah bagaimana penulis mencantumkan hal-hal yang berkaitan dengan teknologi (sesuai latar belakang penulis) dengan sangat tegas dan lugas. Tak ada keragu-raguan sehingga pembaca menjadi yakin bahwa teleporter dan gadget canggih lainnya dalam novel ini memang sangat mungkin ada di masa depan. Selain itu, tersirat pula kerinduan mendalam penulis mengenai hal-hal yang lebih bersifat spiritual. Penulis tanpa ragu menggambarkan situasi di mana keimanan masih ditegakkan dan kedekatan dengan Tuhan dapat semakin diperkuat justru dengan kemajuan teknologi zaman.
Yang paling berkesan bagi gue adalah masalah OBE alias Out of Body Experience. Karena sebagai anak psikologi, gue tertarik banget sama hal itu. Hmm, mungkin suatu hari gue akan lebih banyak meneliti tentang hal itu. Dan yang jelas, buku ini bisa memberikan referensi yang ringan namun tetap berisi.
Gue sih berharap Indonesia memang bisa semaju itu di tahun-tahun mendatang, tak usah lama-lama menunggu abad ke-22, sehingga kita semua bisa merasakan efeknya. Semoga saja.
Bogor, 14 Desember 2006
Melody Muchransyah
Mahasiswi S1 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok